Malam hari. Mataku terasa kering sekali. Berkali-kali aku mengedipkan kedua mata ini, tapi masih saja terasa kering. Tubuhku bagaikan daging asap. Kering dan kaku. Bagai tak bernyawa. Bagaimana tidak? Sudah setengah hari aku tidak bergerak dari posisi ini. Posisi badan tegak, diam, dan kaku. Mataku menatap dalam ke dalam layar komputer yang sinarnya sangat terang dan membutakan. Yang bergerak dari tubuhku hanyalah jari telunjuk kananku yang sedari tadi sibuk menekan tombol mouse komputer. Gerakan sederhana yaitu menaikkan jari sedikit lebih tinggi dari permukaan tombol mouse, kemudian melepaskan sedikit tenaga untuk menekan tombol itu. Gerakan yang tidak melelahkan sebenarnya, tapi entah mengapa energiku seakan tersedot ke dalam komputer setiap kali aku menekan tombol mouse itu. KLIK.
Keesokan harinya. Pagi hari. Aku harus bangun dari tidurku yang lamanya hanya seperempat kali waktuku bermain komputer semalam. Kepalaku pusing. Aku ingin tidur lagi. Selimut tebal dan bantal berair itu terlihat sangat menggoda imanku. Membawaku ingin selalu kembali ke dalam pelukannya. Ah, tidak, tidak. Aku harus segera bangun. Dunia menantikan aksiku hari ini.
Siang hari. Tubuhku bagai mati rasa. Bagai diinjak oleh ribuan gajah. Belum lagi hatiku. Rasanya sakit dan sesak. Sesak, sesak, sesak. Entah apa perumpamaan yang bisa kuberikan untuk mewakili perasaan ini. Saking sakitnya.
Aku membenamkan wajahku ke dalam bantal penggoda iman yang selalu ada di kamar tidurku. Sungguh nyaman rasanya kembali ke pelukanmu, bantal.
Aku mengangkat sedikit wajahku dari bantal itu. Hanya sampai batas hidungku. Aku menarik napas dalam-dalam. Dalam sedalam-dalamnya. Aku menghirup 3.500 cc udara. Itu adalah volume vital paru-paru manusia, pada umumnya. Sekarang pikiranku kosong. Yang ada hanyalah pikiran tentang bagaimana caranya untuk aku bisa tertidur lagi.
Aku menghembuskan napasku di balik gumpalan kapuk bantal itu. Lewat beberapa detik, aku masih menghembuskan napas. Terus, terus. Paru-paruku masih penuh dengan udara. Terus, terus. Rasanya enak sekali menghembuskan napas dibalik bantal murah itu. Aku terus menghembuskan napas sampai akhirnya udara dalam paru-paruku habis. Yang tersisa hanya 1.000 cc udara. Itu volume udara residu paru-paru manusia, pada umumnya lagi.
Aku menahan napasku. Aku pikir aku sudah tidak butuh bernapas. Aku pikir aku sudah tidak butuh oksigen. Untuk apa lagi aku bernapas kalau menghembuskan udara saja sudah terasa enak?
Ternyata aku salah. Tubuhku bergetar, menggelepar, meronta, meminta udara. Akhirnya aku mengalah pada tubuhku yang malang ini. Aku mengadahkan kepalaku ke udara dan mulai bernapas seperti biasa. Ternyata rasanya bernapas itu lebih enak daripada.... ya, daripada tidak bernapas.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
waa main komputer mulu si, haha (padahal sendirinya juga main komputer mulu)
duh dyzz...
pas baru baca, kok nadanya serius banget gitu. Ga taunya pas nyampe ending, kakak malah ngetawa ngakak..
Ga taw emang maksud kamu ngelucu ato ga, but this is certainly very entertaining :D
Post a Comment